GETAR suara prajurit puncak tertinggi militer, menahan amarah, dan menegasi para sesepuh TNI, bahwa ada situasi genting di Tanah Air. Lima ribu senjata akan dibeli satu institusi, dan pembelian di luar komando—bahkan nama Sang Presiden tercatut pula.
Saya memutar ulang penggalan suara Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Makin sering terulang, makin menegaskan situasi genting—mungkin Ibu Pertiwi “hamil tua” seperti tafsir simbolis menjelang G 30 S PKI meletus.
“Suatu saat apabila kami yang junior-junior ini melakukan langkah di luar kepatutan para senior—itu hanya kami sebagai Bhayangkari. Kami datanya pasti akurat. …Ada kelompok institusi yang akan membeli lima ribu pucuk senjata, bukan militer. Data intelijen kami akurat,” kata Jenderal Gatot Nurmantyo.
Pada bagian lain, terdengar pula suara Panglima TNI terbata-bata. “…dan polisi pun tidak boleh memiliki senjata yang bisa menembak tank, bisa menembak pesawat, dan bisa menembak kapal. Saya serbu kalau ada. Ini ketentuan. Kalau secara hukum tidak bisa, Bhayangkari itu akan muncul.”
Jenderal Gatot pun menegaskan, rekaman audio yang beredar di media sosial memang asli suaranya. Saya yakin, TNI punya BAIS (Basdan Intelijen Strategis), organisasi yang khusus menangani intelijen kemiliteran, dan berada di bawah komando TNI. Tak mungkin sesumbar bila seorang Panglima TNI saat memberi informasi.
Dalam kaitan Ibu Pertiwi, ingatan saya menoleh ke belakang. Tak jauh, sepekan sebelum suara Panglima TNI bergetar. Ia memerintah agar prajurit TNI menonton filem Pengkhianatan G 30 S PKI karya Arifin C Noer yang rilis 1984.
Saya menafsir, aba-aba sebagai penunjuk situasi keamanan negara bak “api dalam sekam”. Prajurit TNI diingatkan kembali pada sejarah kelam 1965. Seperti menemukan habitatnya, perintah pemutaran film menuai kontroversi di media sosial maupun media mainstream.
Tafsir saya, ajakan Sang Panglima menonton film punya makna lebih jauh. Dalam historiografi nasional, bangsa Indonesia harus ingat sejarah peristiwa Madiun 1948, tiga tahun setelah Republik Indonesia diproklamasikan dwi-tunggal Soekarno Hatta.
Jauh sebelum merdeka, akhir tahun 1926 terjadi pemberontakan komunis terhadap penjajah Belanda. Nah, dalam situasi Indonesia modern, upaya pengkhianatan terhadap negara, dapat saja terjadi.
Kekhawatiran Panglima TNI, sebenarnya lebih kepada “oknum” yang berafiliasi dengan partai politik, memanfaatkan situasi bagi ambisi pribadi maupun kepentingan “kelompok” dalam arti sempit.
Gayung bersambut. Hari Minggu (24/9/2017), Menko Polkam Jenderal (purn) Wiranto pun merilis, bahwa jumlah senjata yang dibeli hanya 500 buah, buat keperluan sekolah intelijen, dan itu dipesan sama Pindad.
Pemesannya BIN (Badan Intelijen Negara). Tak perlu izin dari TNI, cukup Polri. Maka kekeliruan data ini hanya masalah komunikasi yang belum tuntas.
Semudah dan sesederhana itu kah persoalan senjata militer tersebut? Sebuah misteri. Naluri jurnalistik saya menafsir, dalam beberapa waktu masalah senjata militer tersebut terus bergulir.
Imbauan menghentikan polemik hanya upaya meredam situasi. Setiap orang yang mendengar suara Panglima TNI bergetar, pasti punya tafsir sendiri, baik secara letterlijk maupun dalam tafsir kontekstual terhadap situasi nasional akhir-akhir ini.
Mandat jurnalis
Hari-hari ini, banyak orang merasa dapat mandat sebagai jurnalis. Ruang-ruang pengap di lorong kampung pun dipenuhi coretan atau narasi kumal. Di dinding linimasa media sosial bertebaran burung gagak menerbangkan kata-kata bersayap, menakutkan, bahkan hoaks.
E-mail diserbu kantor berita tanpa alamat. Ruang chatting bergumul seribu asumsi berdasar “penciuman kuping”, tafsir yang majemuk dan ambiguitas ada di dalamnya.
Tak heran pula bila lentik jemari pembantu atau asisten nyonya rumah gedongan pun sangat lincah meneruskan pesan berantai tanpa ia pahami substansi kebenaran berita. Pesan audio Panglima TNI saya terima di 3 grup WhatsApp berbeda, dengan sentuhan cover berbeda, untung suara kalimat yang menggetarkan sama persis.
Dalam wilayah personal, pada satu titik kulminasi kejengkelan saat Facebook tidak menyaring informasi bohong, di sisi lain “perang kampanye bohong” memenuhi linimasa orang yang saya kenal, sahabat, atau teman asing di dunia maya, saya sampai pada puncak “frustrasi kultural”.
Delapan bulan lampau, secara sadar pula saya men-delete pendiri facebook si Mark Zuckerberg sebagai orang yang pernah saya puji. Sesaat saya plong,tapi setelah mengendap semua kekesalan, dan amarah, muncul pula penyesalan tersebab networking dan friend list saya “bubar” seketika.
Sepekan terakhir, saya membuat akun baru, dan banyak kawan bertanya soal akun lama yang sengaja saya binasakan.
Hari-hari ini, kita tak cukup baca koran, mendengar bisikan radio, mengintip halaman kaca televisi di ruang asisten rumah tangga, atau mengulik Youtube sesuai pilihan minat topik. Bila dulu status maupun profile picture satu tokoh di Blackberry dapat menggemparkan jagat maya, kini kegemparan ditebarkan grup WhatsApp yang member-nya dari abang becak sampai menteri.
Jagat raya bernama Tanah Air kini ramai-ramai dihuni “orang-orangan” yang mengira dirinya punya otoritas untuk mewakili suara rakyat. Untung saja ia bukan wakil Tuhan. Bahkan seseorang yang pernah menjabat sebagai menteri di bidang informasi pun menuai kecaman saat ia posting foto hoaks di Twitter.
Hari-hari ini—banyak orang pun merasa dirinya sebagai netizen—yang harus dapat perlindungan negara—tafsir dari Undang-Undang Kebebasan Pers maupun Kebebasan Informasi Publik. Tak heran bila perang campaign mengendus pada satu sasaran pamungkas bernama Saracen.
“Silakan Anda beri tugas kepala Polri, melacak Saracen setuntas-tuntasnya hingga ke akar paling dalam. Penghargaan setinggi langit kami berikan. Tak usah jauh-jauh melacaknya—sebab cukup tahun mundur sampai 2014,” kata seorang kolega jurnalis kepada pensiunan jenderal polisi, 24 Agustus lalu.
Malam itu kami berbincang dengan pendiri pasukan elit antiteror di satu resto di kawasan Senayan bersama sejumlah kolega jurnalis senior. Penyelidikan pun menyeret sejumlah nama penting.
Menghamba berhala
Januari 1961, Surat Kabar Pedoman menemui ajalnya di tangan penguasa militer. Koran boleh tercabik-cabik, dan tintanya mengalir ke comberan. Tapi Rosihan Anwar tetap lah kolumnis brilliant sampai akhir hayatnya.
“Betapa pada tahun-tahun ketika jadi pemimpin redaksi Pedoman sebelum dibredel pada awal tahun 1961, saya menulis dengan tajam dan mengkritik orang dengan keras. Saya bikin banyak musuh karena itu, bukan saja musuh politik, melainkan juga musuh pribadi. Saya berpendapat seorang wartawan yang baik tidak mencari popularitas, supaya disenangi oleh semua pihak dan golongan,” tulis Rosihan Anwar dalam otobiografi Menulis Dalam Air.
Saya merasa Rosihan seperti hidup kembali. Seharusnya ia memberi kuliah kepada kita yang masih hidup ini. Apalagi kalau cuma WTS atau Wartawan Tanpa Surat Kabar, terlampau cengeng bila di zaman kebebasan pers dan informasi ini ada yang berteriak, ”Saya tidak punya media lagi, dan tidak bisa berkarya.”
Absurditas makna yang “gagal” saya pahami. Sebab masih ada blog, media sosial maupun platform untuk para blogger seperti Kompasiana.
Kembali ke soal tafsir, hati kian trenyuh saat di waktu lampau, saya melihat tontonan televisi memamerkan polisi bersetegang dengan seorang penyandang kamera. Sudah dapat ditebak, pada esok harinya “sekumpulan” pemilik pena maupun perekam gambar di ruang bercahaya—ramai-ramai protes, dan menggugat arogansi si oknum polisi.
Oh ternyata hari-hari ini—tontonan seperti itu bukan hanya milik sejumlah pensiunan jenderal, tapi juga pemilik media, dan top eksekutif newsroom.
Saat seorang kolega berkata, ”Pengusaha sangat kaya mau jadi penguasa dan penguasa yang membeli tiket agar dapat kursi kontestasi pun ingin sangat kaya harta dari jabatan maupun kekuasaannya.” Hati saya makin pedih.
Saya tidak heran. Mungkin sah saja. Namun, bisa Anda bayangkan saat penguasa yang kaya-raya, pemilik konglomerasi media, punya partai politik, berada di Singgasana Maharaja. Apakah ia akan jadi Ratu Adil, atau monster baru di era reformasi, entahlah!
Padahal Pak Harto yang kita jatuhkan bersama dari singgasana punya cara lebih halus saat mengobok-obok “banteng raksasa”, “si hijau” maupun cara penguasa demagog memonopoli “beringin kuning“.
Semua kenyinyiran saya sebenarnya tak ada arti. Manakala orang-orang yang merasa dirinya beragama, berbaris-baris memakai lidah-katanya sebagai protes, adu-domba, dan mencerca.
Saya percaya ketauhidan jadi misi penting agar manusia jangan menghamba berhala, apalagi musyrik pada patung yang dibuat nenek moyangnya. Ironisnya, patung berhala sudah berubah wujud menjadi tahta, harta, dan wanita.
Ingatan saya flashback lagi. Dalam beberapa interaksi sebagai jurnalis RCTI paruh 1990-an, saya menyorongkan mik ke mulut Abdurrahman Wahid—saat itu ia petinggi Nahdlatul Ulama. Gus Dur selalu menggunakan kecerdasannya guna menumpas penguasa melalui lidah-kata sebernas akal para cendekia.
Kita kini tak punya “Gus Dur” lagi. Mungkin yang ada hanya “orang-orangan” yang menyaru sebagai Gus Dur. Tujuh tahun lampau saya berinteraksi intensif dengan penceramah agama Othman Umar Shihab, yang dimaki-maki sebagai Syiah. Anehnya, tak sekali pun dari tutur katanya, ia menyerang balik, apalagi mendengar Othman menjelekkan umat yang melancarkan teror umpatan pada dirinya.
Mungkin, banyak dari kita memang menjadi demagog bagi diri sendiri, lantaran produser “Saracen” bukan hanya yang kini diusut Polisi, sebab masih banyak “Saracen” lain. Jangan-jangan orang-orang yang kini berkuasa juga punya “Saracen”, tapi terlindungi oleh pihak yang punya otoritas mengusutnya.
Bila kita bebas menafsir, penguasa juga bebas manafsir sesuatu, tergantung angle atau sudut pandang. Tergantung perspektif melihat sesuatu.
Jauh ke masa kanak-kanak, dan ini wilayah personal, saya belajar alif ba ta kepada Opung atau kakek saya yang disapa keluarga sebagai Buya. Saat orang-orang kampung datang ke rumahnya, ia selalu rajin "menyiram" kegaduhan tokoh kampung dengan cara menebar senyum.
Bila bicara atribut pendidikan, Si Opung belasan tahun di Tanah Suci Mekah, jauh sebelum negara ini punya tanggal sakti bernomor 17 Agustus. Nah, kearifan para bijaksana kadang-kadang melebihi batas kultural, sosial, ekonomi, bahkan “label bernama agama”.
Agama samawi menyebar kebaikan, kemanusiaan, dan cinta kasih-sayang. Ketauhidan! Namun beragam tafsir yang menyesatkan sering jadi “peluru” buat mengacaukan situasi kita berbangsa, dan bernegara.
Dalam hati, saya hanya bisa mengutuki kedunguan diri ini. Tapi saya tak sudi bila jari tangan saya seperti jari asisten rumah tangga di rumah gedongan yang memantik keyboard di smartphone berharga mahal, tapi tanpa paham apa yang ia sebarkan: berita sebenar-benarnya berita, atau kabar dari burung gagak yang “berlindung” di sarung penyamun.
Sebab yang paling jelas, kata-kata beracun yang ia tularkan berwujud “monster”—menebar teror dalam kehidupan kita.
Audio Sang Panglima di media sosial, masih saya simpan, dan hampir selalu punya keinginan memutar balik. Saya mendengar, akhir-akhir ini perang urat syaraf sedang “bertempur” di negeri ini.
Semua terjadi secara terbuka, masif, dan begitu telanjang. Ia menjadi “monster” bagi kehidupan kita yang mendengar, atau menontonnya. Sesuatu yang tak mungkin terjadi saat Pak Harto sangat berkuasa.