Suku Dunia ~ Ekagi, disebut dengan beberapa nama lain, misalnya suku bangsa Ekari, Kapauku atau Me. Kelompok ini berdiam di dataran tinggi bagian tengah Irian Jaya, daerah yang berada pada 135-137 derajat Bujur Timur dan 3-4 Lintang Selatan. Sekarang daerah itu merupakan wilayah Kecamatan Kamu, Pantai Timur, Pantai Barat, Tigi, yang termasuk wilayah administratif Kabupaten Paniai Propinsi Papua.
Lingkungan Alam Suku Ekagi
Daerah itu berupa gunung-gunung tinggi dan lembah dalam yang diselingi dengan Danau Paniai (luas 14.150 Ha). Danau Tage (3.000 Ha) dan Danau Tigi (2.400 Ha).
Dan daerah ini ditumbuhi hutan lebat dengan pohon-pohon kayu besar seperti kayu besi dan kayu cendana dan terdapat pula bermacam jenis anggrek. Binatang yang hidup disana adalah babi hutan, rusa, kanguru, kuskus, burung nuri, burung kakatua, burung cendrawasih, buaya, ular dsb.
Nama dan Penduduk Suku Ekagi
Nama kapauku diberikan oleh orang-orang yang berdiam di pantai barat daya Irian Jaya kepada orang-orang yang berdiam di pedalaman yang berada di dataran tinggi bagian Tengah Irian Jaya.
Kapauku artinya "Pemakan orang", karena itu tulisan ini tidak menggunakan nama tersebut. Orang Moni, tetangga mereka di sebelah timur laut, menamakan mereka orang "Ekari".
Orang Ekagi sendiri menyebut diri mereka Me, yang artinya "manusia". Jumlah orang Ekagi sekitar tahun 1950-an diperkirakan sebesar 60.000 jiwa. Mereka mempunyai bahasa sendiri yang disebut bahasa Ekagi atau sesuai dengan nama kelompok mereka seperti tersebut diatas.
Pada tahun 1987 jumlah penduduk Kabupaten Paniai adalah 216.523 jiwa yang diperkirakan 130.000 jiwa diantaranya adalah Orang Ekagi, yang merupakan salah satu suku bangsa yang jumlahnya cukup besar di Irian Jaya umumnya. Pada tahun 1990 penduduk kabupaten ini telah menjadi 223.337 jiwa.
Mata Pencaharian Suku Ekagi
Mereka hidup dari bercocok tanam sederhana dengan peralatan sederhana pula, yang sejak lama mereka menggunakan alat dari batu. Tanaman yang mereka kenal untuk dikonsumsi adalah talas, ubi rambat, ubi kayu, tebu, tembakau, pisang, kacang-kacangan, sayur-sayuran, mentimun dan labu. Ternak yang dipelihara hanya babi dan ayam. Sungai dan danau menjadi sumber penangkapan ikan.
Makanan pokok mereka ini adalah talas. Mereka menanam ubi rambat terutama untuk makanan babi. Ternak babi dipandang sangat penting, terutama untuk pesta babi (juwo) dan untuk mas kawin. Selain babi, kera juga dipakai sebagai mas kawin. Babi merupakan salah satu simbol kekayaan, dan kekayaan merupakan sarana untuk mendapatkan kehormatan, kedudukan dan kekuatan politik dalam masyarakat.
Babi sebagai mas kawin digunakan untuk melamar istri lebih dari satu. Istri bagi orang Ekagi bukanlah untuk sekadar memenuhi kebutuhan s*ks, melainkan juga untuk membantu mengumpulkan kekayaan, bahkan untuk mengumpulkan mas kawin. Dengan demikian, suami dapat mengambil istri muda lagi, yang berarti akan menambah gensi sosialnya. Seorang pemimpin kelompok masyarakat atau pemimpin klen (tonowi) mungkin mempunyai istri sampai 10 orang.
Rumah Adat Suku Ekagi
Rumah orang Ekagi berbentuk panggung yang didirikan diatas tiang-tiang kukuh. Rumah mereka biasanya berdinding papan yang kuat, dengan atap daun pandan atau rumput-rumputan.
Dinding rumah biasanya dilapisi juga dengan daun pandan untuk menahan angin atau hawa dingin di malam hari. Ruangan rumah terbagi menjadi ruangan untuk kaum pria (emaage) di bagian depan, dan ruangan untuk kaum wanita (kugu) dibagian belakang. Setiap ruangan mempunyai dapur untuk memasak dan memanaskan badan.
Rumah seperti ini merupakan tempat kediaman beberapa keluarga inti yang merupakan suatu rumah tangga. Anggota satu rumah atau rumah tangga semua dan itu bervariasi antara 5 hingga 18 orang. Rumah tangga itu dipimpin oleh seorang laki-laki tertua dan terkaya, dilihat dari jumlah istri dan jumlah hartanya. Suatu keluarga inti mempunyai peranan dalam hal pengasuhan dan pendidikan anak-anak mereka. Orang Ekagi menarik garis keturunan melalui garis ayah (patrilineal).
Rumah-rumah mereka berdekatan satu sama lain, sehingga membentuk satu desa. Anggota masyarakat desa semacam itu dipimpin oleh kepala desa (Tonowi). Beberapa desa membentuk suatu federasi sebagai kesatuan politik terbesar dalam masyarakat. Suatu federasi desa dipimpin oleh salah seorang Tonowi. Pemimpin federasi desa ini paling mendapat simpati dibandingkan dengan tonowi lainnya, karena kekayaannya, kedermawanannya, kepandaiannya berperang dan kefasihannya berbicara.
Dalam kehidupan masyarakat Kapauku sering terjadi perang antara federasi-federasi desa. Perang itu dapat terjadi karena masalah sepele atau percekcokan antara pribadi tertentu, misalnya perceraian suami-istri yang berasal dari federasi desa yang berbeda atau perbuatan yang menyakiti seseorang yang tidak disengaja. Peperangan itu kadang-kadang berlarut-larut dalam jangka waktu berbulan-bulan. Perdamaian terjadi kalau di kedua pihak telah jatuh korban dalam jumlah yang sama atau setiap pihak sudah segan melanjutkan peperangan. Kesimbangan jumlah korban biasa juga dianggap sama dengan cara membayar uang darah (me mege) kepada pihak yang merasa lebih menderita.
Orang-orang yang merasa berasal dari keturunan suatu nenek moyang tergabung dalam satu klen. Mereka memelihara "adat eksogami klen", artinya tidak boleh kawin dalam suatu klen yang sama, orang Kapauku mengenal banyak sekali klen yang masing-masing mempunyai nama dan totem tersendiri. Setiap klen mempunyai pantangan untuk tidak memakan binatang tertentu dan tidak merusak tumbuh-tumbuhan tertentu.
Agama Dan Kepercayaan Suku Ekagi
Dalam bidang religi, orang Ekagi percaya bahwa dunia diciptakan oleh Ugatame. Dunia itu terdiri atas lima unsur pokok, yaitu roh, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda yang tidak berjiwa. Ugatame yang maha tahu dan maha kuasa itulah yang menentukan dan mengatur segala sesuatu dan jalan kehidupan di dunia ini. Ia berada dimana saja dengan memakai lambang bulan dan matahari. Ia tidak pernah menghukum orang, oleh sebab itu ia tidak perlu ditakuti. Hubungan orang dengan Ugatame seperti hubungan anak dengan ayahnya. Orang tidak perlu mengadakan pengurbanan baginya, cukup memohon dan berdoa saja.
Pada masa yang lebih akhir, golongan tua masih percaya kepada roh-roh yang menentukan nasib manusia. Roh itu menumpukkan dirinya dalam berbagai bentuk karena itu mereka menganggap alam itu sendiri merupkanan makhluk yang bernyawa. Setiap jengkal tanah serta pohon, danau, rawa, mempunyai penunggunya masing-masing yang dikenal sebagai "tuan tanah" (mekiipuweme).
Penunggu alam itu ada yang berjenis pria dan wanita. Karena ia tidak setiap tempat dapat dijadikan tapak rumah atau kebun karena dihuni oleh makhluk halus yang disebut madau. Mereka harus menjaga hubungan baik dengan makhluk halus itu. Mereka akan membuat kebun di lahan tertentu yang diawali dengan meminta izin kepada penunggu tempat itu. Mereka pun memotong seekor babi atau ayam secara menumpahkan darahnya di sekitar, lahan tersebut. Hubungan antara orang Ekagi dan orang luar keluarga telah lama terjadi karena lingkungan alamnya menyatukan orang mencapai daerah itu. Sejumlah ekspedisi pernah dilakukan di daerah ini antara tahun 1917 dan 1941.
Pemerintahan kolonial Belanda ada di daerah itu sejak tahun 1938 dan baru berakhir setelah Perang Dunia ke-II. Sementara itu misi agama The Christion and Missioneer Aliance dari Amerika telah bergerak di sana dan mendirikan beberapa sekolah. Dengan adanya hubungan dengan orang luar, mereka mulai mengenal unsur utama kebudayaan baru. Mereka telah memakai alat-alat pertanian dari logam seperti sekop, kapak, alat pencetak.
Kini pada dasarnya mereka telah menganut agama yang resmi yang diakui oleh negara. Namun sebagian dari mereka masih sulit untuk meninggalkan kepercayaan yang sudah begitu lama teramalkan dalam rentang panjang kehidupan kelompok mereka. Di satu pihak, mereka menerima berita keselamatan dari gereja, tetapi di pihak lain tetap mencari sumber kebahagiaan yang berasal dari budaya mereka sendiri. Jalan akhir yang mereka tempuh adalah memadukan kedua unsur religius itu. Unsur dari luar disesuaikan dengan kepercayaan asli tanpa mengubah intinya. Hal yang bertentangan dianggap tidak logis dan tidak digunakan dalam kepercayaan (Utan Mana) itu, mereka menciptakan hasil kerajinan tangan seperti sisir, piring dan lain-lain yang terbuat dari kayu. Mereka menjauhkan diri dengan yang berasal dari luar dan memenuhi kebutuhan hanya dari alam. Pada malam-malam tertentu mereka berkumpul mengelilingi rumah suci dan berdoa dalam bahasa tersendiri yang disebut "bahasa kekal" (ayu mana).
Inti kepercayaan itu sebenarnya tidak berlawanan dengan agama resmi. Mereka percaya di atas mereka ada sesuatu yang paling besar dan berkuasa dan sebagai pencipta segala-galanya. Suatu ketika yang membawa "keselamatan" akan datang membawa kebahagiaan dan akan melepaskan mereka dari segala kesulitan hidup.
Sambil menanti datangnya "Keselamatan" itu mereka harus menyiapkan diri dengan membuat kebun secara gotong-royong. Kebun itu harus ditanami dengan tumbuhan yang berasal dari zaman nenek moyang, seperti tebu, ubi jalar dan talas. Mereka harus membuat rumah sesuai dengan adat, dengan pembagian ruang terdiri dari kamar tidur, kamar bersalin, kamar bersetubuh, dan kamar wanita yang sedang haid. Mereka pun harus membersihkan diri dari noda melalui upacara beabeayai.
Sebagian dari data dan informasi diatas dikutip dari sumber tertulis tahun 1963. Sesudah tahun tersebut masyarakat ini tentu telah mengalami perubahan terutama melalui usaha-usaha pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dari kecamatan khususnya dan Kabupaten Paniai propinsi Irian Jaya, umumnya.
Bagian pendalaman dari Kabupaten Paniai tentu menjadi salah satu sasaran pembangunan dalam rangka pembangunan di Indonesia Umumnya. Hasil penelitian yang lebih akhir (Giay, 1989) memperkirakan, bahwa pembangunan masyarakat pedalaman kabupaten ini akan menghadapi tantangan tersendiri yang tidak mudah.
Masyarakat pedalaman Irian Jaya, dan Kabupaten Paniai khususnya, sejak tahun 1960-an sampai kini telah terlanjur dibanjiri berbagai bentuk tawaran muluk-muluk tentang "Zaman Bahagia", yang disertai kelimpahan kekayaan materi oleh sejumlah makhluk roh yang berdomisili di Kabupaten ini, khususnya di sekitar danau Paniai, danau Tigi, danau Tage, Lembah Kamu, dan Mapia. Gejala seperti ini merupakan fenomena religi yang mirip dengan gerakan yang biasa disebut gerakan kargo (cargo cult).
Gejala religi mulai timbul sejak masuknya penyiar agama Nasrani dan pemerintah Belanda pertengahan tahun 1930-an dan mereka tergusur oleh nilai-nilai budaya asing itu. lalu muncul para makhluk roh atau dewa yang memanifestasikan diri sebagai wanita-wanita Barat lewat mimpi dan "wahyu." Para dewa itu meyakinkan masyarakat akan sanggup untuk mengendalikan arah sejarah yang telah mulai kehilangan kendali. Fenomena religi itu timbul dalam masyarakat modern yang sedang membanguan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Mereka takut tertinggal dari masyarakat lain yang sudah akan take off.
Karena ada benturan nilai-nilai budaya yang lama dengan yang baru yang lebih dominan dan agresif. Selain itu masih ada beberapa faktor-faktor lain, misalnya kurangnya pemahaman terhadap budaya dan pandangan hidup mereka, serta dedikasi pelaksana pembangunan yang dituntut lebih besar.
Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa