Suku Dunia ~ Mandobo adalah suku bangsa yang menyebut dirinya Mandub-Wambon, yang berdiam antara sungai Digul dan sungai Kao, yang berada dalam wilayah Kecamatan Mandabo. Kecamatan ini merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Wilayah kecamatan ini dialiri sungai Mandobo, sebagai cabang dari Sungai Digul yang bermuara di pantai barat daya Kabupaten Merauke. Di bagian timur Kecamatan Mandobo bertautan dengan wilayah Kecamatan Waropko dan Kecamatan Mindip Tana, dimana kedua kecamatan ini langsung berbatasan dengan wilayah negara Papua Nugini.
Wilayah ini tertutup hutan lebat, hampir tidak ada perbedaan antara musim hujan dan musim kering. Di tengah hutan itu terdapat pemukiman-pemukiman kecil yang letaknya terpencar, yang jaraknya berjam-jam perjalanan. Beberapa rumah terdapat di tengah kebun pada sebidang tanah yang hutannya sudah di tebang. Di sana terdapat ladang sagu dan tambak ikan, dan disanalah mereka mencari makan, kayu bakar, bahan bangunan, atau tumbuh-tumbuhan untuk obat.
Nama Mandobo itu diberikan dan disebut oleh orang luar. Jumlah orang Mandobo tidak lagi diketahui secara pasti. Namun, mereka merupakan penduduk terbesar di antara 7.627 jiwa penduduk Kecamatan Mandobo pada tahun 1987, dan pada tahun 1990 menjadi sekitar 8.000 jiwa. Penduduk tersebut tersebar dalam 10 buah desa. Orang Mandobo mempunyai bahasa sendiri yaitu bahasa Mandobo. Sementara ahli bahasa menggolongkan bahaa Mandobo, bahasa Muyu dan bahasa Anu menjadi satu kelompok yaitu kelompok bahasa Mandobo.
Baca juga :
Mereka mengembangkan bentuk kebudayaan peralihan antara kebudayaan peramu dan petani. Mereka berdiam antara kediaman orang Awyu sebelah barat sungai Digul dan kediaman orang Muyu di sebelah timur sungai Kao. Kebudayaan Awyu lebih dekat dengan budaya meramu, sedangkan budaya Muyu lebih dekat pada petani.
Mata pencaharian yang utama adalah mengumpulkan sagu dan berburu di hutan, serta menangkap ikan di sungai. Beternak babi merupakan hal yang penting bagi orang Mandobo, karena hasil penjualan babi bisa dipergunakan sebagai uang siput (mas kawin) sewaktu melamar seorang perempuan. Orang Mandobo digolongkan oleh para pengamat sebagai pedagang yang ulung. Nilai benda bergeraj dan tak bergerak, misalnya tanah, wanita, babi, anjing, panah dan busur, jala, dan lain-lain dinyatakan dengan uang siput. Akan tetapi orang berdagang juga dengan bantuan benda-benda seperti kapak dan perhiasan.
Sumber makanan pokok sehari-hari adalah sagu dan juga pisang. Mereka menanam sagu itu dan membiakkan ulat sagu. Di tempat yang kurang baik ditumbuhi sagu, mereka membuka kebun, dan konon disana ada 32 jenis pisang, 10 jenis keladi, 15 jenis kumbili, tebu dan kentang. Penangkapan ikan dilakukan dengan cara membendung dan mengeringkan sungai-sungai kecil atau dengan cara meracuni ikan dengan tuba.
Garis keturunan ditarik pada pihak laki-laki (patrilineal). Kelompok yang terdiri atas seorang ayah, anak-anak, dan beberapa istri seringkali menggabungkan diri dengan keluarga-keluarga lain. Hal ini penting untuk menjaga keamanan kelompok, terutama bila kaum laki-laki pergi berburu atau berdagang. Tugas istri atau wanita mengolah sagu dan ulat sagu untuk dimakan. Hampir setiap laki-laki yang sudah tua mempunyai beberapa orang istri. Maksud pengambilan istri yang lebih dari satu ini adalah untuk kepentingan menambah tenaga kerja. Dalam perkawinan kedua istri kedua itu harus minta izin pada istri pertama.
Dalam pandangan orang Mandobo penyakit dan kematian mempunyai arti yang penting. Sakit dan kematian bayi yang sedang menyusui dipandang sebagai perbuatan roh jahat yang membalas dendam karena pelanggaran pantangan. Kematian orang dewasa disebabkan karena magi yang diperbuat oleh seseorang. Kematian yang wajar dan alamiah hanya diterima untuk orang-orang tua saja.
Unsur pakaian kaum laki-laki adalah koteka, yakni alat penutup p*nis yang terbuat dari sejenis buah labu yang telah kering. Para wanita atau istri menutup kemaluannya dengan serat-serat yang terbuat dari kulit kayu.
Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
Mata pencaharian yang utama adalah mengumpulkan sagu dan berburu di hutan, serta menangkap ikan di sungai. Beternak babi merupakan hal yang penting bagi orang Mandobo, karena hasil penjualan babi bisa dipergunakan sebagai uang siput (mas kawin) sewaktu melamar seorang perempuan. Orang Mandobo digolongkan oleh para pengamat sebagai pedagang yang ulung. Nilai benda bergeraj dan tak bergerak, misalnya tanah, wanita, babi, anjing, panah dan busur, jala, dan lain-lain dinyatakan dengan uang siput. Akan tetapi orang berdagang juga dengan bantuan benda-benda seperti kapak dan perhiasan.
Sumber makanan pokok sehari-hari adalah sagu dan juga pisang. Mereka menanam sagu itu dan membiakkan ulat sagu. Di tempat yang kurang baik ditumbuhi sagu, mereka membuka kebun, dan konon disana ada 32 jenis pisang, 10 jenis keladi, 15 jenis kumbili, tebu dan kentang. Penangkapan ikan dilakukan dengan cara membendung dan mengeringkan sungai-sungai kecil atau dengan cara meracuni ikan dengan tuba.
Garis keturunan ditarik pada pihak laki-laki (patrilineal). Kelompok yang terdiri atas seorang ayah, anak-anak, dan beberapa istri seringkali menggabungkan diri dengan keluarga-keluarga lain. Hal ini penting untuk menjaga keamanan kelompok, terutama bila kaum laki-laki pergi berburu atau berdagang. Tugas istri atau wanita mengolah sagu dan ulat sagu untuk dimakan. Hampir setiap laki-laki yang sudah tua mempunyai beberapa orang istri. Maksud pengambilan istri yang lebih dari satu ini adalah untuk kepentingan menambah tenaga kerja. Dalam perkawinan kedua istri kedua itu harus minta izin pada istri pertama.
Dalam pandangan orang Mandobo penyakit dan kematian mempunyai arti yang penting. Sakit dan kematian bayi yang sedang menyusui dipandang sebagai perbuatan roh jahat yang membalas dendam karena pelanggaran pantangan. Kematian orang dewasa disebabkan karena magi yang diperbuat oleh seseorang. Kematian yang wajar dan alamiah hanya diterima untuk orang-orang tua saja.
Unsur pakaian kaum laki-laki adalah koteka, yakni alat penutup p*nis yang terbuat dari sejenis buah labu yang telah kering. Para wanita atau istri menutup kemaluannya dengan serat-serat yang terbuat dari kulit kayu.
Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa