Suku Dunia ~ Limakawatina satu kelompok sosial atau disebut juga Liniakawatina, mereka bertempat tinggal di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara.
Mereka termasuk "masyarakat terasing", yang bermukim di hutan belantara di lembah antara Gunung Ngkamelu-melu dan Gunung Kamosopo, sekitar Teluk Tompano.
Mereka termasuk "masyarakat terasing", yang bermukim di hutan belantara di lembah antara Gunung Ngkamelu-melu dan Gunung Kamosopo, sekitar Teluk Tompano.
Ilustrasi Suku Limakawatina |
Secara administratif, mereka termasuk penduduk Dusun Labundoua yang berada dalam Desa Lambelu, Kecamatan Wakurumba Selatan, Kabupaten Muna.
Jumlahnya tidak diketahui karena mereka tidak pernah menetap di suatu tempat. Kecamatan Wakorumba Selatan terdiri atas 6 desa/kelurahan, dengan penduduk sekitar 9.600 jiwa.
Masyarakat Limakawatina dahulu termasuk anggota salah satu kadie (kampung otonom) dalam wilayah Kesultanan Buton. Limakawatina berarti lima kementerian, karena kadie ini dahulu memang terdiri atas lima wilayah kecil.
Mereka lari ke hutan untuk menghindarkan diri dari pungutan pajak yang ditetapkan oleh para penguasa wilayah.
Ketika Belanda menguasai daratan Buton pada awal abad ke-20, mereka tetap dihutan untuk menghindari kerja paksa. Pada tahun 1957-1958 mereka lari lebih jauh lagi ke dalam hutan untuk menghindarkan diri dari kekejaman gerombolan DI/TII. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka berladang, yang dilakukan secara berpindah-pindah.
Mereka sengaja tidak mendirikan sebuah kampung agar lokasi kediaman mereka tidak diketahui "musuh". Kadang kala mereka melakukan barter dengan penduduk sekitar. Mereka membawa pucuk rotan, padi, jagung, atau tembakau, yang kemudian ditukarkan dengan garam, pakaian, tombak, dan lain-lain.
Karena memang asal-usulnya sama dengan penduduk sekitarnya, mereka menggunakan bahasa yang sama pula. Bahkan bentuk rumah mereka pun sama dengan rumah peladang di kampung-kampung sekitarnya.
Pada tahun 1991 sebanyak 16 kepala keluarga yang meliputi 42 jiwa hidup di tengah-tengah penduduk dan berladang secara menetap. Mereka menempati barak kayu yang dibangun pemerintah.
Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
Jumlahnya tidak diketahui karena mereka tidak pernah menetap di suatu tempat. Kecamatan Wakorumba Selatan terdiri atas 6 desa/kelurahan, dengan penduduk sekitar 9.600 jiwa.
Masyarakat Limakawatina dahulu termasuk anggota salah satu kadie (kampung otonom) dalam wilayah Kesultanan Buton. Limakawatina berarti lima kementerian, karena kadie ini dahulu memang terdiri atas lima wilayah kecil.
Mereka lari ke hutan untuk menghindarkan diri dari pungutan pajak yang ditetapkan oleh para penguasa wilayah.
Ketika Belanda menguasai daratan Buton pada awal abad ke-20, mereka tetap dihutan untuk menghindari kerja paksa. Pada tahun 1957-1958 mereka lari lebih jauh lagi ke dalam hutan untuk menghindarkan diri dari kekejaman gerombolan DI/TII. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka berladang, yang dilakukan secara berpindah-pindah.
Mereka sengaja tidak mendirikan sebuah kampung agar lokasi kediaman mereka tidak diketahui "musuh". Kadang kala mereka melakukan barter dengan penduduk sekitar. Mereka membawa pucuk rotan, padi, jagung, atau tembakau, yang kemudian ditukarkan dengan garam, pakaian, tombak, dan lain-lain.
Karena memang asal-usulnya sama dengan penduduk sekitarnya, mereka menggunakan bahasa yang sama pula. Bahkan bentuk rumah mereka pun sama dengan rumah peladang di kampung-kampung sekitarnya.
Pada tahun 1991 sebanyak 16 kepala keluarga yang meliputi 42 jiwa hidup di tengah-tengah penduduk dan berladang secara menetap. Mereka menempati barak kayu yang dibangun pemerintah.
Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa