Selama lebih dari 2.000 tahun Selat Malaka merupakan jalur utama di Asia Tenggara dan membuat masyarakat yang tinggal di sekitarnya menerima banyak keuntungan dari lalu lintas perdagangan komersial. Di sisi semenanjung Malaka banyak terdapat gundukan dari bangkai kapal tepatnya di sekitar wilayah Kelang. Selain itu di cekungan Sungai Langat - Selangor banyak ditemukan kumpulan artefak berasal dari abad terakhir SM. Artefak tersebut yaitu besi dan alat dari perunggu, manik-manik serta gerabah dari India, dan lonceng perunggu dan genderang dari Dong Son yang berasal dari Vietnam utara. Penduduk di pemukiman ini diperkirakan mendapatkan timah dari sumber timah aluvial dan mendapat interior emas melalui pertukaran barang asing. Keberadaan artefak itu dapat menunjukkan tingkat kelas mereka di masyarakat.
Wilayah Pulau Sumatra yang berbatasan dengan Selat Malaka yaitu Air Sugihan, Karang Agung, dan hulu ketiga dari Karang Agung. Lokasi-lokasi tersebut dekat dengan Sungai Musi sehingga menempatkan wilyah-wilayah tersebut menjadi strategis pada rute perdagangan internasional yang bergerak melalui Selat Malaka dan Bangka ke Jawa Barat, Bali, dan kepulauan penghasil rempah.
Untuk beberapa waktu, antara abad ke-5 dan 7 Masehi terjadi pergeseran dalam kepentingan di jaringan perdagangan maritim. Sampai pada abad ke-5, China telah menerima barang dari beberapa pulau yang dikirim ke daerah barat, serta produk-produk eksotis dari Asia Tenggara. Mereka datang melalui jaringan Laut Melayu, dengan Termini timur di salah satu pelabuhan Lower Mekong milik kompleks budaya Oc Eo dan pada beberapa pelabuhan dominan Cham di Vietnam Tengah. Pergolakan di Cina utara dan pergeseran kekuasaan politik ke selatan mendorong perkembangan perdagangan maritim China. Dalam mencari jalur perdagangan yang lebih aman untuk barang yang sebelumnya melalui jalur darat melalui Asia Tengah, kerajaan-kerajaan di Cina selatan mulai menggunakan rute laut menggunakan kapal asing. Meskipun China memiliki kapal besar, mereka ingin menggunakan alat transportasi tersebut di sungai dan danau. Kapal utama yang membawa barang-barang ke dan dari China disebut "Kunlun Bo" atau kapal Kunlun. Oleh karena itu, orang-orang di sepanjang Selat Malaka, termasuk Sriwijaya dan pendahulunya, berpartisipasi sebagai operator di Kunlun bo mereka.
Pada abad ketujuh, kapal Kunlun datang setiap tahun menuju Guanzhou dan Tonking. Peziarah Budha Cina, Yijing, mengunjungi Sriwijaya dan Melayu di akhir abad ke-7. Pada abad ke-15 menurut sumber-sumber Cina, Kunlun disewa untuk menjadi pemandu bagi kapal Cina agar dapat melalui wilayah Selat Malaka dan keluar ke Samudera Hindia, praktek ini diikuti oleh Portugis di abad ke 16. Tugas ini biasanya dilakukan oleh Orang Laut. Kunlun digunakan secara umum pada abad ke-7 untuk merujuk kepada orang-orang di pulau-pulau dan penduduk di sepanjang Selat Malaka, yang mana orang Cina memiliki kontak paling banyak di periode awal.
Kapal dagang yang datang dari Cina memanfaatkan angin muson timur laut yang mengarah langsung ke pantai tenggara Sumatera. Salah satu manfaat dari perkembangan perdagangan ini adalah pelabuhan Sumatera dikenal dalam sumber-sumber Cina sebagai Gantoli (Kan t'o-li). Menurut catatan Cina, penguasa Gantoli bermimpi di mana ia diberitahu oleh seorang biksu Buddha: "Jika Anda mengirim utusan [ke Cina] dengan hormat dan membayar kewajiban Anda, tanah Anda akan menjadi kaya dan bahagia serta pedagang dan wisatawan akan berkembang seratus kali lipat. "
Sumber:
Leonard Y. Andaya, Leaves of The Same Tree: Trade and Ethnicity in The Straits of Melaka.