Kekaisaran Romawi adalah salah satu peradaban paling berpengaruh dalam sejarah manusia. Dedikasi mereka dapat dilihat dalam bidang arsitektur, ilmu pengetahuan, pemerintahan dan militer yang kemudian diikuti oleh semua negara Eropa dan mayoritas negara di dunia. Bahasa resmi mereka yaitu bahasa latin digunakan untuk menulis teks ilmiah pada masa Renaissance dan Aufklarung. Bagaimana Bangsa Romawi bisa menjadi bangsa yang besar dan disegani, hal ini terletak pada pola pendidikan yang mereka terapkan.
Mayoritas anak-anak Romawi mendapatkan pendidikan dari orang tuanya. Pendidikan untuk anak laki-laki lebih menekankan pada pelatihan fisik karena mereka kelak akan menjadi prajurit Kekaisaran. Mereka akan diajarkan untuk melempar tombak, menggunakan pedang, berenang, tinju, dan naik kuda - setiap keluarga biasanya memiliki satu keluarga. Apabila sang ayah dapat membaca dan menulis, maka anak juga akan diajarkan keterampilan ini. Biasanya membaca dan menulis diajarkan dengan mempelajari buku-buku tentang sejarah Roma. Mempelajari tanggal dalam sejarah Roma merupakan hal yang sulit. Peristiwa tidak dicatat berdasarkan nomer tahun tetapi oleh dua orang konsul yang memerintah pada saat itu. Sementara itu konsul Roma selalu berubah setiap tahun, sehingga hal ini menciptakan masalah serius bagi anak-anak sekolah Romawi.
Anak-anak perempuan dilatih oleh ibu mereka untuk memasak, membuat pakaian, dan melakukan pekerjaan rumah lain. Masyarakat Roma yakin pendidikan seperti kelak akan dapat membuat seorang perempuan menjadi istri yang baik.
Pada abad ke II SM, sekolah mulai muncul di Roma. Sekolah tersebut sangat kecil dan hanya memiliki satu ruangan. Kegiatan pembelajarannya berupa membaca, menulis, dan arimatika dasar. Sistem angka Romawi membuat arimatika menjadi sulit. Pelajaran arimatika dilakukan dengan menggerakkan manik-manik pada bingkai perhitungan yang disebut sempoa.
Bangsa Romawi yang beriman kuat dalam hukuman fisik. Satu pepatah populer adalah: "Seorang pria yang belum dicambuk tidak terlatih." Oleh sebab itu bentuk utama dari hukuman berupa dipukul dengan cambuk kulit. Terence, seorang pendidik Romawi tidak setuju dengan hal itu dan berpendapat bahwa seseorang hanya akan bersikap jujur karena takut akan mendapatkan hukuman, apabila dia berbuat kesalahan maka dia akan berusaha mencari trik untuk terhindar dari humuman. Tetapi jika kita memperlakukan seorang dengan kasih sayang maka dia akan memperlakukan kita seperti yang kita lakukan kepada dia. Dan seorang pria yang tidak bisa memberikan kasih sayang maka ia tidak bisa mengendalikan anak-anak.
Orang-orang kaya Roma banyak yang lebih suka memperkerjakan guru privat untuk mendidik anak-anak mereka di rumah. Biasanya orang tua membeli seorang budak Yunani untuk didik kemudian ditugaskan untuk mengajar anak-anak majikannya. Biaya yang dikeluarkan untuk membeli budak dan mendidiknya lebih murah daripada untuk mengirimkan anak-anak ke sekolah. Selain itu dengan menjadikan budak Yunani sebagi guru maka anak-anak Romawi akan dapat belajar dua bahasa, Yunani dan Roamwi.
Quintilian, ahli pendidikan Romawi yang penting pada abad 1 M, meyakini bahwa sekolah lebih baik dari guru privat. Dia berargumen bahwa sekolah mendorong persaingan antara anak-anak sehingga standar kemampuan seseorang dapat ditingkatkan. Secara bertahap orang-orang kaya Roma menjadi setuju dengan pendapat tersebut dan sekolah pun menjadi lebih populer. Quintilian juga berpendapat bahwa anak-anak akan lebih baik di sekolah jika orang tua kedua anak juga telah dididik. Hal ini mendorong beberapa orang tua untuk menyekolahkan anak perempuan mereka, tetapi hal ini masih cukup langka dilakukan pada masa itu.
Pada usia 14 tahun anak-anak orang kaya pergi ke sekolah di mana mereka diajarkan keterampilan pidato (public speaking). Ini bertujuan untuk memungkinkan mereka menjadi politisi sukses dan pengacara ketika mereka dewasa. Di sisi lain, anak-anak dari golongan kelas menengah dan bawah mengalami buta huruf karena tidak mendapatkan pendidikan dan mulai bekerja di usia muda.
Bangsawan khawatir tentang kekuatan atau kemampuan guru yang dapat membentuk pikiran para pemuda. Pada 92 SM Senat mengusir semua guru dari Roma karena mendorong siswa mereka untuk menjadi "terlalu pintar". Para Senat sangat mengkhawtirkan tentang ajaran Filsafat Yunani yang dianggap dapat mendorong muculnya ketidaktaatan.
Sumber: